Eks Juve yang Profesional

Ketika Giuseppe “Beppe” Marotta dan Antonio Conte gabung ke Inter Milan, tentu ini jadi berita heboh. Karena bukan sembarangan, kedua orang itulah yang menjadi sosok krusial dibalik kebangkitan Juventus setelah sempat terpuruk akibat Skandal Calciopoli.

Karir Marotta mulai meroket saat menjadi Direktur Umum Sampdoria. Ia berhasil menyelamatkan Sampdoria dari keterpurukan. Saat pertama bergabung dengan Sampdoria, Sampdoria sedang dalam prestasi terburuk sepanjang sejarah mereka sejak 1946 yakni menempati peringkat ke-10 Serie B dalam tiga musim beruntun.

Marotta kemudian merombak Sampdoria di tahun pertamanya. Walter Novellino, pelatih yang mengantarkan Venezia promosi ke Serie A, dipilih Marotta. Kombinasi Novellino dan Marotta lantas mendatangkan pemain-pemain berkualitas seperti Fabio Bazzani, Andrea Gasbarroni, hingga Angelo Palombo. Hasilnya hanya butuh semusim bagi keduanya untuk mengantarkan Sampdoria kembali ke Serie A, dengan tambahan prestasi lain yakni mencapai babak perempat final Coppa Italia.

Pada 2004, Marotta mempekerjakan Fabio Paratici yang baru saja pensiun sebagai pemain, sebagai Kepala Pemandu Bakat Sampdoria. Paratici kemudian dikenal sebagai 'tangan kanan' Marotta. Di Sampdoria, ia adalah orang yang menyodorkan nama-nama pemain berkualitas seperti Max Tonetto, Marco Donadel, Emilliano Bonazzoli, Lamberto Zauli, Luigi Sala, Sam Dalla Bona, Fabio Quagliarella, Christian Maggio, Andrea Poli, hingga meminjam Antonio Cassano dari Real Madrid. Para pemain tersebut menjadi bagian kesuksesan Sampdoria lolos ke Piala UEFA (sekarang Europa League) bahkan Liga Champions. Bahkan di Sampdoria, ia berhasil mengantarkan kesebelasan berjuluk Il Samp tersebut ke Liga Champions padahal 10 tahun sebelumnya mereka masih berkutat di Serie B.

Atas prestasi itulah Marotta didatangkan Andrea Agnelli ,yang baru menjadi presiden klub Juventus,  untuk menjadi Direktur Umum merangkap CEO Juventus pada tahun 2010. Dari apa yang sudah dipaparkan di atas, dengan kebijakan-kebijakannya dimulai dari proses pemilihan pelatih hingga pemain, Marotta memang merupakan salah satu sosok penting yang membuat Juventus kembali menjadi raksasa Italia dalam lima tahun terakhir.

Saat pertama kali Marotta bergabung, Juventus sedang dalam situasi yang cukup kacau karena Juventus hanya menempati peringkat ketujuh Serie A 2009/2010, di mana hal tersebut merupakan peringkat terburuk sejak Juve kembali ke Serie A pada 2007/2008. Di awal kepemimpinannya, ia mendatangkan pemain baru setidaknya hingga 14 pemain dan berani melepas sekitar 11 pemain yang dianggap tak lagi bisa diandalkan.
Marotta kemudian menjadi sosok yang paling sibuk setiap pembelian dan penjualan pemain Juventus. Ia yang menegosiasikan dan menentukan pemain mana yang hendak dibeli atau dijual oleh Juventus. Dan terbukti Marotta menjadi juru transfer paling ulung di Italia dengan hanya menggunakan dana belanja yang irit.

Betapa tidak, pemain hebat macam Paul Pogba, Andrea Pirlo, Fernando Llorente, Kingsley Coman, Sami Khedira, dan Daniel Alves, didatangkan dengan gratis. Manchester United jadi terlihat “sangat bodoh” ketika membuang Pogba ke Juve secara cuma-cuma pada tahun 2012, tapi kemudian membeli lagi gelandang Perancis itu dengan harga mahal 89,3 juta pounds.  Belum lagi pemain-pemain murah berkualitas seperti Leonardo Bonucci, Andrea Barzagli, Arturo Vidal, Simone Pepe, Stephan Lichtsteiner, Mario Mandzukic, Carlos Tevez, dan Alvaro Morata, yang kesemuanya datang ke Turin pada era Marotta. Ditambah kemudian nama-nama besar Paulo Dybala, Gonzalo Higuain, dan Cristiano Ronaldo.

Selain pemain, Marotta juga menjadi orang yang menentukan pelatih Juventus. Ketika Luigi Delneri dianggap gagal, Marotta adalah orang yang dengan berani menunjuk legenda Juventus, Antonio Conte, sebagai pengganti. Padahal, saat itu Conte tak memiliki pengalaman yang cukup banyak sebagai pelatih. Ia baru sekadar mengantar promosi Bari dan Siena ke Serie A. Terbukti, Conte berhasil membawa Juve meraih scudetto tiga musim beruntun (2011-2014).

Ketika Conte memilih untuk mengundurkan diri, Marotta dengan yakinnya menunjuk mantan pelatih AC Milan, Massimiliano Allegri. Namun, keputusannya itu terbukti tepat karena Juventus,ditangan Allegri berhasil melanjutkan dominasi di Serie A (2014-2019) dan melangkah ke babak final Liga Champions 2014/2015 dan 2016/2017 walaupun kalah.


Karena berbeda pandangan dengan Andrea Agnelli, pada Oktober 2018 Marotta keluar dari Juventus. Namun rekam jejak yang brilian menarik atensi Steven Zhang buat menggunakan jasa Marotta sembari berharap sentuhan magisnya dapat mengubah keadaan Inter Milan yang sedang minim prestasi sejak 2011, namun tengah mengalami momentum positif dari animo fans yang tengah tinggi.

Selang dua bulan kemudian, ia sudah resmi bergabung dengan rival bebuyutan Nyonya Tua, Inter Milan (13 Desember 2018).

"Mulai hari ini, saya akan menjadi bagian dari Inter yang hebat ini, sesuatu yang sangat saya banggakan untuk memenuhi peran penting tersebut, menjadi manajer umum untuk aspek-aspek olahraga," demikian pengumuman Marotta melalui pesan video di akun resmi Twitter klub.

"Ini tentu saja merupakan pengalaman dan bab penting dalam kehidupan saya, penuh tanggung jawab besar, meski ini tentunya tidak membuat saya takut ketika kami berada di jalur yang penting, dan harus menjadi pemenang."

Tangan dingin Marotta mulai terlihat di Inter. Tiga pemain yang dianggap biang keonaran yang memicu ketegangan di klub macam Mauro Icardi, Ivan Perisic, dan Radja Nainggolan, dipinjamkan ke klub lain. Padahal ketiganya punya nama besar dan menjadi pemain kunci I Nerazzurri di musim 2018/2019. Namun harmonisasi klub adalah segalanya.

Inter menggebrak di bursa transfer musim 2019/2010. Nama besar macam Romelu Lukaku, Alexis Sanchez, dan Cristian Eriksen berhasil direkrut. Bek asal Uruguay, Diego Godin didapatkan secara gratis dari Atletico Madrid. Pemain muda potensial Italia seperti Nicola Barella dan Stefano Sensi mampu digaet. La Beneamata kemudian makin berasa “tim Premier League” ditambah kedatangan Ashley Young dan Victor Moses.


Adapun Marotta menggantikan posisi pelatih Inter, dari Luciano Spaletti (yang sebenarnya masih terikat kontrak hingga Juni 2021) dengan Antonio Conte yang sudah dikenalnya dengan baik saat bahu membahu di Juventus. Spaletti memang berhasil mencapai target realistis klub dengan lolos ke Liga Champions dua musim berturut (2018, 2019). Tapi itu pun didapatkan dengan susah payah hingga akhir kompetisi Serie-A, kerena Inter tampak kewalahan di level domestik. 

Conte memiliki pengalaman membangkitkan tim yang tengah terpuruk, seperti Juventus dan Chelsea hingga akhirnya jadi jawara. Bahkan dengan skuad seadanya dengan pilihan pemain yang terbatas, Conte mampu membuat Timnas Italia (2014-2016) tampil impresif dan sampai babak perempat final Piala Eropa 2016.

Pada Mei 2019, Conte resmi ditunjuk menjadi pelatih baru Inter Milan dan  dikabarkan langsung melalui situs resmi klub.



 Presiden Inter, Steve Zhang mengucapkan selamat datang untuk Conte. "Saya yakin Antonio Conte adalah salah satu pelatih sepak bola terbaik. Saya yakin dia akan membantu kami mencapai target untuk menjadikan klub ini sebagai salah satu yang terbaik di dunia," ucap Zhang.

Sempat menganggur setahun usai dipecat Chelsea dan menerima tawaran dari beberapa klub besar Serie-A, Conte membeberkan alasannya mengapa dirinya lebih memilih Inter.

"Lembaran baru dalam hidup saya sudah dimulai, saya benar-benar bersemangat. Melalui kinerja, saya akan mencoba untuk membayar kembali semua kepercayaan yang diberikan oleh presiden dan direktur (Inter Milan)," kata Conte dikutip situs web resmi Inter Milan

 "Saya memilih Inter karena klub tersebut, mengingat betapa ambisiusnya proyek yang ada. Karena sejarah Inter. Saya dikejutkan oleh transparansi klub dan keinginan untuk membawa Inter kembali ke tempatnya," papar Conte.
 
Kepindahan ke I Nerazurri tentu tak mudah, mengingat status Conte sebagai legenda besar Juventus baik sebagai pemain maupun pelatih. Setelah Marotta dan kini Conte, tentu banyak Juventini yang belingsatan kebakaran jenggot mengingat betapa berbahayanya klub bila kedua orang itu bergabung. Apalagi itu Inter Milan, musuh bebuyutan di Serie-A.

Bahkan muncul sebuah petisi yang sudah ditandatangani lebih dari 15 ribu suporter Juventus yang meminta petinggi klub untuk mencabut bintang Antonio Conte dalam Walk of Fame di stadion mereka dan memberikannya kepada Claudio Marchisio yang baru memutuskan pensiun. Permintaan agar lambang bintang dengan nama Conte yang dipajang di Allianz Stadium dicabut dimulai ketika pelatih berusia 50 tahun itu menerima tawaran Inter Milan. Bukan rahasia lagi bahwa Juventus dan Inter Milan terlibat rivalitas mendarah daging, sehingga keputusan Conte melatih I Nerazzurri dianggap sebagai pengkhianatan. Namun menurut TuttoSport, keinginan tersebut tidak akan terwujud karena presiden Andrea Agnelli sudah mem-veto soal hal ini. 

Terkait petisi, Conte meresponnya saat sesi konferensi pers jelang Inter vs Juve pada Oktober 2019. Menurutnya aksi yang dilakukan para tifosi Juve tersebut sangat mengecewakan.

"Saya kecewa dengan mereka, ini menunjukkan ketidaktahuan, terhadap nilai dan pendidikan. Saya bahkan tidak ingin membahas hal ini, tetapi Anda di media memberi sorotan kepada orang-orang bodoh itu," ungkap Conte.

Bahkan Conte menilai, mereka yang mendukung aksi tersebut bukanlah seorang fans sejati.

"Mereka bukan penggemar, mereka bodoh," kata Conte.

Terkait rivalitas Inter vs Juventus, Conte menilai hal tersebut wajar dalam olahraga. Namun ia menegaskan rivalitas di sepak bola bukanlah soal perang.

"Kami beruntung terlibat dalam olahraga terbaik di dunia dan harus memberi contoh, menyampaikan nilai-nilai positif dan antusias bermain sepak bola. Ini olahraga, bukan perang. Terkadang orang lupa itu," ungkap Conte.

Tersiar kabar dari Corriere della Sera dan Gazzetta dello Sport pada November 2019, Conte mendapat sebuah amplop berisi serangkaian ancaman dari anonim dan sebuah peluru. Kiriman peluru dan surat ancaman semacam itu merupakan bentuk intimidasi yang kini tengah marak di Negeri Pizza dan sasarannya sejumlah politisi di Italia.

Beberapa pihak menilai ancaman kepada Conte itu bentuk lelucon yang keliru dan ofensif. Tetapi pihak berwenang tetap menanggapi dengan serius dan melakukan penyelidikan.

Atas dasar profesionalisme, siapa pun itu (pemain,pelatih, direktur) sah-sah saja menyeberang ke klub lain. Jadi, tak usah lebay. Begitulah yang ditunjukkan Marotta dan Conte, walaupun mereka eks Juve.
Memecahkan rekor gaji pelatih sepanjang sejarah Serie-A, Conte yang dibayar mahal 11 juta euro atau sekitar 170 miliar rupiah setahun menunjukkan kualitas hebatnya . Sejauh ini Conte bisa menunjukkan mengapa dirinya layak dihargai mahal. Inter Milan dibawanya pada jalur perebutan scudetto Serie A 2019-2020, bersaing dengan Juventus dan Lazio.
(sumber: Detik, Goal, Nerazurri Ale, Tribun, dll)





Postingan Populer