Presiden Inter Milan: Massimo Moratti


    Sebelumnya Massimo Moratti dibawah bayang-bayang nama besar ayahnya, Angelo Moratti, Presiden Inter Milan yang sukses bergelimang prestasi bersama La Grande Inter asuhan Helenio Herrera yang melegenda. Hampir dua belas tahun lamanya, Inter dibawah Moratti tak kunjung meraih scudetto sejak ia membeli kepemilikan klub dari Ernesto Pellegrini pada 18 Feruari 1995. Bahkan lebih ditarik dari belakang, I Nerazzurri sudah puasa gelar Serie-A selama 18 tahun! Scudetto selalu lepas dari genggaman sejak 1988-89. Fenomena aneh untuk klub yang namanya begitu besar yang didukung oleh dana wah, materi pemain hebat, dan basis fans yang kuat.
    Miliaran lira sudah Moratti keluarkan untuk mendatangkan sejumlah pemain bintang (beberapa diantaranya bahkan bertitel pemain terbaik dunia) macam Ronaldo, Christian Vieri, Hernan Crespo, Ivan Zamorano, Roberto Carlos, Roberto Baggio, Clarence Seedorf, Fabio Cannavaro, dan lain-lain, serta pelatih sekaliber Marcelo Lippi, tapi scudetto yang dirindukan tak kunjung datang. Baru satu gelar internasional berupa Piala UEFA 1998 yang berhasil diraih Inter.
Moratti dan Ronaldo
     Disinyalir penyebab kegagalan I Nerazzurri adalah ketidaksabaran dan gaya manajerial Moratti yang keliru. Seakan dituntut sesukses ayahnya, Moratti tidak pernah sabar menunggu perkembangan pemain dan pelatih. Semua harus segera berprestasi jika tidak ingin ditendang. Padahal prestasi butuh proses dan waktu.
    Inter di era Moratti acap gonta-ganti pelatih sehingga membuat pemain bingung dan suasana ruang ganti tak nyaman, yang tentunya berdampak tak baik bagi perkembangan tim. Padahal ambil contoh Giovanni Trapattoni, pelatih legendaris Italia itu saja butuh tiga musim untuk meraih scudetto 1988-89 buat Inter. Ketidaksabaran juga berlaku untuk pemain. Pemain yang dianggap melempem di Inter, anehnya justru bersinar ketika pindah ke klub lain, macam Roberto Carlos di Real Madrid, atau Clarence Seedorf dan Andrea Pirlo di AC Milan.
    Moratti merupakan pribadi yang disukai pemain, kebapakan dan tak pelit. Ia sering mengajak makan malam para pemain beserta istri mereka dirumahnya di Via Bigli. Disebut-sebut, Moratti juga terlalu memanjakan pemain, terutama pemain bintang.
    Gaya pendekatan Moratti ini dianggap merusak semangat bertarung para pemain. Para pemain merasa seperti anak atau sahabat, yang bisa melupakan tugas dan tanggung jawab mereka. Banyak pemain hebat yang ketika datang ke Inter berubah jadi lemah. Moratti tidak bisa marah pada para pemain, bahkan ketika Inter kalah sekalipun.
    I Nerazzurri pun mengalami kerapuhan mental. Dua kali Inter "hampir juara". Tentu yang paling tragis adalah musim 2001-02. Jika menang di pekan terakhir melawan Lazio (giornata 34, 5 Mei 2002), Inter langsung menuju juara. Tapi apa daya, gelar yang sudah didepan mata harus lepas ketika diluar dugaan Inter yang memuncaki klasemen tumbang 2-4 secara dramatis ditangan Lazio. Gelar Lo Scudetto pun dicaplok Juventus, bahkan gagal meraih posisi kedua setelah disalip AS Roma.
    Inter diperiode pertama kepemimpinan Massimo Moratti sering diejek fans klub lawan dengan kalimat : "Non vincente mai (kalian tidak pernah menang)" yang diplesetkan dari nyanyian favorit Interisti : "Non mollare mai (jangan pernah menyerah)". Dalam konteks perburuan gelar juara, I Nerazzurri dikenal sebagai tim yang sering memberikan harapan tinggi pada fansnya diawal musim, lalu hanya untuk menghempaskan harapan itu diakhir musim. Inter jadi tim yang selalu hancur dibawah tekanan.
    Ucapan sinis nan pesimis pun terdengar, bahkan justru datang dari Interisti sendiri. Para suporter pernah memasang spanduk yang bertuliskan : "Selama Moratti menjadi presiden, kita tidak punya kemungkinan (juara)".
    Moratti sebagai pemegang puncak tanggung jawab klub jadi bulan-bulanan suporter garis keras Inter. Ia dianggap tidak kompeten sebagai pemimpin dan terlalu banyak ikut campur hingga ke urusan terkecil.
    Tak kuat jadi pusat hujatan Interisti dan supaya bisa melihat persoalan klub dengan lebih jelas, Moratti memutuskan mundur menjadi Presiden Inter pada 19 Januari 2004. Status kepemilikan Inter tidak berubah. Yang berganti adalah kepengurusan harian klub diserahkan total kepada bekas wakilnya, Giacinto Facchetti.
     Dan selanjutnya takdir dan nasib manusia siapa yang bisa menebak. Facchetti meninggal dunia pada 4 September 2006 akibat tumor pankreas. Moratti pun kembali menjabat Presiden Inter.
    Pada masa kepemimpinan keduanya inilah Moratti merasakan kejayaan yang pernah dikecap sang ayah. Kesabaran Moratti selama bertahun-tahun akhirnya berbuah manis, dan datang justru melalui cara yang tidak disangka. Borok Juventus terbongkar setelah selama ini melakukan cara kotor menyuap wasit. Pada musim 2005-06, Inter mendapat hibah scudetto dari tangan Jupe yang harus terdegradasi ke Serie-B akibat Skandal Calciopoli.
      Moratti pun dapat merasakan manisnya juara dilapangan pada musim 2006-07. Pada pekan ke-33 (22 April 2007), Inter berhasil mengalahkan Siena 2-1 di Stadion Comunale Artemio Franchi. Dengan menyisakan lima partai, Inter menjadi juara Serie-A.
    "Scudetto ini akhirnya datang dan kami bahagia," kata Moratti seperti dilansir Datasport. Setelah pertandingan berakhir, pengusaha minyak itu langsung turun ke lapangan. "Ini pesta terbaik bagi saya. Spontanitas dan tidak dirancang."ujarnya.
     Wajar Moratti begitu senang. Minggu itu menjadi pengalaman pertamanya sebagai presiden klub merayakan gelar juara Serie-A di arena laga. Inter terakhir kali merayakan keberhasilan menjadi kampiun di arena pertandingan pada musim 1988/89.
     Inter pun tak terbendung. Selama empat musim berturut-turut, Inter secara beruntun menguasai Serie-A (2006-2010). Bahkan yang istimewa, I Nerazurri menorehkan sejarah treble winner pada musim 2009-10 dengan menyabet tiga gelar sekaligus (Serie-A, Piala Italia, dan Liga Champions) -rekor yang belum pernah dilakukan klub-klub Italia manapun.
    
mengangkat trofi Liga Champions yang dirindu-rindukan

Moratti dan Jose Mourinho sang pelatih "Treble Winner"

    Kini paling tidak, Massimo Moratti sudah bisa menyamai kebesaran ayahnya, Angelo Moratti, sebagai pemimpin terbaik Inter sepanjang masa. Untuk urusan gelar lokal, Massimo sukses mengungguli ayahnya dengan 5 scudetti (2005-06, 2006-07, 2007-08, 2008-09, 2009-10) dan 4 Coppa Italia (2004-05, 2005-06, 2009-10, 2010-11). Ia hanya kalah 1 Piala Champions dan 1 Piala Interkontinental dari Angelo, karena baru merebut masing-masing 1 Liga Champions 2010 dan Piala Dunia Antar Klub.
                                               ####
    Massimo Moratti lahir pada 16 Mei 1945, sebagai anak keempat Angelo Moratti, pemilik dan Presiden Inter era emas 1955-1968. Berbeda dengan sang ayah, sejak kecil Massimo sudah mulai akrab dengan sepakbola, khususnya Inter. Ia menjadi saksi kebesaran La Grande Inter, tim yang disentuh oleh tangan Tuhan. 
    "Tak ada masa paling indah buat Inter, kecuali masa kepemimpinan ayah saya dan kepelatihan Helenio Hererra. Mereka membuat seluruh tifosi Inter bahagia," kenang Moratti.

Massimo Moratti muda dan ayahnya, Angelo Moratti

    Pada saat ayahnya meninggal, Moratti mewarisi saham ayahnya di Saras, perusahaan yang bergerak dalam industri minyak bumi dan gas. Selain menjadi CEO di Saras, Moratti juga menjadi pemilik Sarlux, sebuah perusahaan yang berfokus pada produksi listrik dan limbah minyak yang kantor pusatnya di Cagliari. Moratti menikah dengan seorang aktivis lingkungan, Emilia, dan memiliki lima anak.
Moratti dan istrinya
 
    Kepada La Gazetta Dello Sport, Moratti menganalogikan hubungannya dengan Inter.
    "Kamu tahu, bagiku Inter adalah seperti seorang anak perempuan. Seorang putri cantik yang diberkati dengan banyak hal. Ia bak seorang perempuan dari masa lampau. Untuknya, kamu akan memberikan segalanya, karena itu adalah yang benar. Tapi akan ada masanya untuk mengirimkan ia kuliah karena itu yang terbaik. Pendidikan dan disiplin jadi hal fundamental untuk masa depannya. Hanya dengan cara itulah ia akan berjalan dengan (kaki) sendiri," kata Moratti.
    Begitulah adanya. Biasanya seorang ayah tak bisa mengatakan tidak pada putrinya. Juga sulit untuk menolak semua permintaannya, meski itu berarti memanjakannya dengan mengosongkan semua isi dompetnya. Seorang ayah hanya ingin yang terbaik untuk sang putri. Ini pula yang dilakukan Moratti pada Inter. Ia memanjakan klub yang dicintainya dengan membeli pemain-pemain mahal dunia meski tak jelas kecocokannya dengan tim atau pelatih. Agen pemain yang menuntut nilai kontrak berlebih pun seringkali dituruti keinginannya. 
    Dalam masa kepemimpinannya, ada sekitar 17 pelatih yang ia pekerjakan untuk menangani Inter. Moratti seakan enggan memberikan waktu untuk belajar atau untuk melakukan kesalahan. Sekali saja berulah, pemecatan jadi jawabnya. Sepanjang Moratti berkuasa, hanya Roberto Mancini dan Jose Mourinho, pelatih yang membawa Inter ke prestasi tertinggi yang ia perlakukan secara baik.
    Intinya, berbagai cara akan ditempuh Moratti demi menyenangkan sang putri berbusana biru hitam miliknya. Mereinkarnasi wanita cantik yang pernah ia lihat di masa lalu.  
    Namun Moratti tak selamanya bisa terus memanjakan "sang putri". Treble winner 2010 menjadi akhir puncak klimaks. Bukannya bersenang-senang setelah raihan sensasional itu, Moratti disadarkan pada tuntutan sepakbola modern yang kerap ia abaikan sebelumnya: perampingan gaji pemain, Financial Fair Play, stadion baru, kontrak komersial, dan segala urusan besar lainnya.
    Apalagi sejak 2009, Saras -sumur uang yang mendanai semua kegiatan di Inter, pun mulai terpuruk. Perusahaan itu sudah tak mampu membayar deviden bagi para pemilik dan harus menjual sebagian sahamnya pada perusahaan Rusia, Rosneft. Moratti hanya mendapatkan uang dari Saras sebesar 50 juta euro, sementara biaya yang ia keluarkan untuk Inter mencapai 473 juta euro. Mungkin bagi Moratti hal ini tidak dianggap beban. Tapi mudah ditebak jika praktek seperti ini tak mungkin berlangsung lama, dan hanya akan berujung pada satu hal: kehancuran Inter Milan. Tentu ini tak mungkin diinginkan Moratti.
    Ya, ending-nya, Moratti menjual 70 persen saham mayoritas klub sebesar 350 juta euro (sekitar Rp 5,4 triliun) kepada pengusaha kaya asal Indonesia, Erick Thohir, pada Oktober 2013.
    "Saya percaya bahwa saya sudah mengambil keputusan yang benar, sudah datang masa dimana anda dipaksa untuk menyerahkan masa depan pada seseorang yang memiliki hasrat yang pernah anda miliki di masa lalu," jelas Moratti pada Rai News 24. "Zaman sudah berubah dan Thohir memiliki semua kualitas yang dibutuhkan untuk melakukan kerjanya dengan baik di sepakbola modern."
    Sempat diangkat menjadi Presiden Kehormatan Inter oleh Erick Thohir, namun 12 bulan kemudian Moratti memutuskan untuk mundur diikuti oleh kedua anaknya (Oktober 2014). Bahkan berniat menjual sisa 30 persen sahamnya.
    Usai sudah kisah cinta Moratti dan I Nerazurri. Para ultras Inter yang dulunya mengecam keras kepemimpinannya dan menuntut mundur, akhirnya mengakui, "Dan kami bangga memiliki presiden sepertimu...". 
(sumber: Bola, Tabloid Soccer, VetriciaWizach/DetikSport, dan lain-lain)


     

Postingan Populer